Suku Tionghoa Adalah Pribumi Asli Indonesia


Suku Tionghoa Adalah Pribumi Asli Indonesia
Ditulis oleh : Maxixe Mantofa

Kebiasaan saya yang senang menulis tatkala berada di atas pesawat maupun saat ada di dalam mode transportasi lain yang “memaksa” saya untuk duduk manis, kali ini terpikirkan pula untuk menulis terutama bagi teman-teman yang satu suku dengan saya dan senasib sejak kecil selalu di “Cino-Cino kan” di masyarakat.

Di kereta Shinkansen super cepat dengan kode nama Hikari 531 dari Tokyo ke Osaka yang akan ditempuh dalam waktu 3 jam, terlalu sayang untuk disia-siakan.  Muncul di dalam benak saya untuk menegaskan kepada teman-teman sesama suku Tionghoa di Indonesia bahwa kita ini PRIBUMI ASLI INDONESIA....  Titik, tanpa koma dan tanpa argumentasi serta keminderan dalam diri kita.  Kita ini bagian asli dari pada Nusantara yang kita cintai.  Kita harus berani melawan ide maupun perkataan yang menyudutkan kita sebagai Tionghoa Indonesia seolah-olah kita ini pendatang atau tamu di negeri sendiri.  Jangan sekali-kali merasa demikian dan meng-amin-kan perkataan mereka-mereka yang menodai kita dengan perkataan bodoh mereka.

Karena itulah, kita harus sadar akan pentingnya ilmu sejarah dalam hidup kita dan dalam kehidupan anak cucu kita di Tanah Air tercinta ini.  Indonesia itu tidak pernah ada sebelum tanggal 17 Agustus 1945, yang ada hanyalah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang sudah tidak lagi punya pengaruh besar setelah runtuhnya kejayaan Majapahit.  Suku Tionghoa sudah menjadi bagian dari pada Nusantara ratusan tahun sebelum Naskah Proklamasi dibacakan oleh kedua Proklamator kita.  

Sewaktu Jepang merasa kekalahan perang atas mereka tidak terelakkan lagi, dan dibentuklah oleh mereka BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) ada 4(empat) suku Tionghoa yang mewakili peranakan Cina selain dari pada wakil-wakil suku lain-lain dan wakil peranakan Belanda serta Arab.  Salah satu dari ke-empat suku Tionghoa tersebut adalah Oey Tjong Hauw, putera dari konglomerat Nusantara saat itu, Oey Tiong Ham, yang salah satu cicitnya saya kenal secara pribadi.

Salah satu suku Cina yang berperan besar atas dukungannya supaya negara baru yang akan dibentuk harus berbentuk Republik dan harus ada hukum yang menjamin warga negaranya kemerdekaan dalam berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat yang kemudian dicetuskan untuk masuk ke dalam Pasal 28 dalam UUD’1945, adalah Tan Eng Hoa, selain Tionghoa lain yg bernama Yap Tjwan Bing yang turut merumuskan Pancasila dan ikut serta mengesahkan UUD’1945.  Bisa dibayangkan apa jadinya tanpa beliau-beliau apabila sila pertama kata “KeTUHANan” tidak tertulis demikian, namun ditulis dengan konsep lain? Bukannya itu berarti akan menaruh agama-agama yang lain di bawah satu agama yang dianggap lebih superior dari pada yang lain? Maka akan mubazirlah konsep Pancasila.  Mereka-mereka jugalah yang berjasa dalam aksi mempersatukan kemajemukan di Indonesia ini, terbukti dengan catatan-catatan dalam arsip Seketariat Negara yang terekam detail jejak “pertarungan” mereka hingga tercapai titik tersebut.

Sekedar turut berpartisipasi dalam penyediaan sarana bagi calon-calon pemimpin Republik yang baru akan dilahirkan, pastinya adalah sebuah perbuatan yang layak untuk dihukum yang seberat-beratnya oleh penjajah waktu itu, namun justru ada manusia yang berani  merelakan rumahnya di Rengasdengklok, untuk dipakai oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 dalam kepentingan penyusunan Teks Proklamasi.  Manusia ini tak lain adalah seorang “Cino” dengan nama Djiauw Kie Siong, yang awalnya direncanakan pembacaan Proklamasi oleh Proklamator yang sedianya akan dibacakan di rumah beliau.

Dalam Kongres Sumpah Pemuda II, suku Tionghoa turut menjadi peserta, menyediakan tempat dan memuat serta merekam cikal bakal lagu kebangsaan Indonesia Raya untuk pertama kalinya.  Sie Kong Liong pemilik rumah di Jl. Kramat Raya 106, Jakarta, yang sekarang telah menjadi Museum Sumpah Pemuda.  Kwee Thiam Hong adalah juga salah satu “Cino” yang bergabung dalam Kongres Sumpah Pemuda II.  Surat kabar Melayu-Tionghoa, Sin Po, dengan pimpinan redaksi seorang “Cino” bernama Kwee Kek Beng, yang pertama kalinya di seluruh Nusantara yang memuat lagu dan notasi Indonesia Raya pada edisi surat kabar mereka tanggal 10 November 1928.

Masih banyak lagi “Cino-Cino” yang berjuang demi terwujudnya Negara Republik Indonesia di Nusantara ini, yang mana salah satunya adalah Liem Koen Hian, pemimpin koran Sin Tit Po, yang berjuang gigih melawan arogansi Belanda terhadap wartawan-wartawan dari suku-suku yang ada di Nusantara termasuk terhadap wartawan suku Cina waktu itu.  Lie Eng Hok yang memprakarsai pemberontakan melawan Belanda di tahun 1926, yang kemudian di tahun 1959 dinobatkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan.  Belum lagi seorang nama besar Laksamana Muda (purn) John Lie Tjeng Tjoan, atau yang terkenal dengan sebutan John Lie, yang tidak diragukan lagi atas jasa-jasa beliau membantu menghantarkan Indonesia yang merdeka dengan resiko kehilangan nyawanya sendiri.  Sie Kien Lien, anak pengusaha mapan, seorang pejuang tentara pelajar yang wafat karena berondongan peluru Belanda atasnya, yang begitu saja terlupakan. Yap Tjwan Bing, Letkol (purn) Ong Tjong Bing, Tan Ping Djiang, Tan Bun Yin, Oei Hok San, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin ditulis satu per-satu akan aksi heroik mereka dalam membela Nusantara hingga menjadi Republik Indonesia.

Setelah kemerdekaan Indonesia, muncul seorang suku Tionghoa bernama Soe Hok Gie, yang berani menentang Soekarno karena kedekatannya dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) serta mengkritik kediktatoran Presiden Soeharto dengan Orde Barunya.  Soe Hok Gie adalah pula seorang pendiri dari organisasi mahasiswa Mapala UI.

Beberapa menteri-menteri yang berjuang untuk kepentingan rakyat pada awal berdirinya NKRI, sebut saja salah satu menteri “Cino” seperti Siauw Giok Tjhan, yang menelurkan banyak konsep kebersihan dan anti korupsi, anti menggunakan mobil dinas untuk kepentingan pribadi, yang patut diacungi jempol.

Dalam bidang olah raga tidak diragukan lagi pembelaan sinyo-sinyo dan nonik-nonik “Cino” dengan nama-nama besar seperti Thio Ging Hwie sebagai atlet angkat besi di Olympiade XV Helsinski, dari Tan Liong Hauw, Thio Him Chang, hingga Kwee Kiat Sek, yang mendapatkan Satya Lencana dari Presiden Soekarno.  Pastinya semua tahu bagaimana Ferry Sonnevil, Tan Joe Hok, Njo Kiem
Bie, Tan King Gwan, Eddy Jusuf, Ang Tjin Siang, Rudi Hartono, Liem Swie King, Alan Budikusuma, Susi Susanti, yang turut membangun fondasi perbulu-tangkisan Indonesia di kiprah internasional.  Tidak pernah mereka bangga akan suku mereka dan membela negara nenek moyang mereka, namun justru bangga dan menangis haru akan ke-Indonesia-an mereka sewaktu menumbangkan lawan mereka di arena pertandingan dunia dan sewaktu lagu Indonesia Raya dikumandangkan.

Belum lagi sumber-sumber yang mengatakan bahwa sebagian dari Wali Songo adalah suku Tionghoa, terlepas benar atau tidaknya, bukan ranah saya untuk membahas, namun saya percaya bahwa kehadiran suku Tionghoa pemeluk agama Islam di Nusantara yang turut mewarnai konsep Islam Nusantara di Republik Indonesia ini bukanlah fenomena baru, namun sudah dimulai sejak ber-abad-abad lalu.

Sebagai suku Tionghoa yang sudah mendarah-daging menjadi Warga Negara Indonesia, dimana kakek buyut kita sudah ada sebelum Republik Indonesia didirikan, pantaslah akan marah apabila kami dianggap sebagai pendatang, sebagai warga negara kelas dua, sebagai “Cino”.  Kita suku Tionghoa haruslah turut berpartisipasi dalam pembangunan Bangsa dan Negara kita bukan hanya dalam sisi bisnis saja, namun harus turut mewarnai sisi politik, sisi agama, sisi nasionalisme, sisi sosial, sisi pertahanan bangsa, sisi pemerintahan dan seluruh aspek kebangsaan dan kenegaraan lainnya.  Kita tidak boleh berasumsi bahwa porsi kita hanya dalam bidang bisnis seperti doktrin secara tidak langsung saat jaman Orde Baru.  Kita memiliki peluang lebih dari pada itu, memiliki hak lebih dari pada itu, namun juga memiliki tanggung jawab lebih daripada yang kita bayangkan.  Kita suku Tionghoa, adalah PRIBUMI INDONESIA, yang sejajar dengan seluruh suku-suku pribumi lain yang ada di NKRI.

Saya “Cino” Indonesia, suku anak bangsa asli Indonesia, yang mencintai Indonesia sebagai Tanah Air sejak lahir.

Jangan pernah lagi meragukan Tionghoa Indonesia, tolong jangan lagi meragukan kita.

Jam menunjukkan pukul 22:15 sewaktu  Shinkansen tiba di Shin-Osaka, waktunya saya berhenti menulis dan turun dari kereta serta berjalan menuju penginapan.  Oyasuminasai (sugeng tilem). 

Salam Indonesia Raya...  Salam Restorasi.
Semoga Kita semua sehat selalu Lahir Bathin.Saling menghargai. TANPA DISKRIMISASI.BEDA2,TANPA PERMUSUHAN,IRI,DENGKI.DEMI INDONESIA YG LBH BAIK & MAJUUUUUU🇲🇨🙏👍
Tanggal      : 28 Desember 2019

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.