[Denny JA] Sendirian Kutembak Markas Polisi Aku Sudah Mati.....

 

“SENDIRIAN, KUTEMBAK MARKAS POLISI, ENAM KALI” (1)

Denny JA

“Aku sudah mati.
Ketika peluru  menembus jantungku,
rasa sepi itu datang kembali.”

“Rasa sepi itu, Ibu.
Yang sering kuceritakan padamu.
Sejak aku SMP.”
Kini datang padaku.
Lewat nyeri di jantungku.”

“Tapi rasa sepi kali ini,
jauh lebih hening.”

“Sebelum aku mati,
Namamu yang kusebut, Ibu.
Aku seolah seperti bayi kembali.
Yang kau timang- timang.”
“Lalu,
 akupun mati.”

“Maafkan Aku, Ibu.
Jika kematianku,
masih juga merepotkanmu.”

“Dari alam sana, aku mendengar.
Riuh rendah komentar orang-orang.
Mereka bilang, aku nekad.
Aku kena gangguan jiwa.”

“Aku terlalu berani.
Sendirian menyerang Mabes Polri.
Menembakkan pistol pula.
Dor, Dor, Dor.
Enam peluru.”

“Engkau tahu, Ibu.
Hanya engkau yang tahu.
Bukannya aku berani.
Tapi tinggal itu pilihanku.
Untuk memberi manfaat padamu.
Menyiapkan jalan untukmu,
untuk keluarga kita.
Abadi, di tempat layak,
di Akherat, kelak.”

-000-

Di rumah itu,  di Jakarta,
petugas polisi tiba.
Ibu, Ayah dan kakak,
menyambut di ruang tamu.

Polisi perlu mendalami.
Dari mana sang Putri, peroleh senjata air softgun?
Mengapa Putri nekad?
Siapa yang membantu Putri.
Adakah jaringan yang menggerakkan Putri?

“Silahkan Ibu, 
Ceritakan segala.”
Pak Polisi merekam percakapan.

Belum sempat berkata,
Ibu menangis,
tersedu-sedu.
Tak sempat terucap satu kata.
Kakak memeluk Ibu.
Menenangkannya.
Tapi malah Kakak ikut menangis.

Ayah menyela:
“Boleh saya saja, yang bicara pak Polisi?”
“Silahkan.” 
Pak Polisi diam. Menyimak.

“Sejak dua tahun lalu,
Putri sering menyendiri.
Ia tak lagi mau kuliah.
Juga tak bergaul.
Ia dikamar saja.
Hanya handphone dan laptop temannya.”

“Berapa kali ketika sholat subuh.
Putri bahkan belum tidur.
Ia lagi bimbang, katanya.” (2)

“Saya tanya, bimbang apa?”
Putri berkisah.
Seolah ada suara.
Ia mendapat tugas istimewa.
Menyelamatkan negara.
Berjuang untuk agama.”

“Sejak dua tahun lalu, saya khawatir, pak Polisi.”

“Pernah dibawa ke psikiater?,” tanya pak Polisi.
“Putri tak mau.
Ia malah marah.
Menangis.
Saya tidak sakit jiwa, Ayah.
Kok mau dibawa ke psikiater.”

“Akhirnya saya datangkan, guru agama.
Kata Pak Guru, Putri sedang krisis iman.
Terus saja ajak Putri berdoa.
Nanti sembuh sendiri.”

“Begitulah kondisinya sehari- hari.
Saya bahkan beberapa kali menjodohkan Putri.
Sudah ada tiga lelaki yang saya bawa ke sini.
Jika punya suami, mungkin berbeda prilaku.
Tapi Putri tak mau.”

“Saya sudah upayakan semua, pak Polisi.”

-000-

“Ibu sendiri melihat gejala apa pada Putri?”
Pak Polisi tetap ingin mendengar pandangan Ibu.
Dari data sementara,
terasa cinta Putri pada Ibu sangat ekstra.

Kembali Ibu menangis.
Hanya menangis saja.

Kakak yang meneruskan kisah.
“Putri kerjanya hanya online, pak polisi. (3)
Ia sering mendengar ceramah agama.”

“Kami semua di sini,
Muslim yang taat.
Tapi paham Putri ini beda.
Beda banget.”

“Saya pernah membentak, Putri.
Ia melarang Ibunya simpan uang di bank.
Katanya itu melawan agama.
Waktu pemilu lalu.
Putri juga melarang semua mencoblos.
Katanya, jangan memilih orang zolim.
Semua mereka hanya ingin mengganti hukum dari Tuhan.” (4)

Pak polisi, diam saja.
Menyimak.

“Dari mana Putri dapatkan pistol itu? Yang Ia bawa ke Mabes Polri?”

Ayah menyela:
“Itu juga saya heran, pak Polisi.
Kok bisa bisanya, Ia punya pistol?”
Padahal Ia tak punya teman.”

-000-

Terbata lalu, Ibu ikut bercerita.
“Seminggu sebelum wafat, Putri sempat curhat.
Katanya, Ia kesepian.
Hampa.”

“Saya membujuknya, untuk kuliah lagi.”
Ia tak mau.
Itu ilmu orang kafir, alasannya.”

“Bagaimana cari kerja?
Kamu akan punya penghasilan.
Punya kegiatan.”

“Tapi memang ini era virus corona.
Bagaimana mau kerja?
Yang ada, PHK dimana- mana.”

Kembali, Ibu menangis.
Sambil berkata, terbata: 
“Entah mengapa saat itu,
Putri berkali- kali minta.
Agar Ibu memaafkannya.
Sebersih- bersihnya.”

“Saya tak ingin menjadi benalu, Ibu,” seru Putri.
Berkali- kali.
“Saya tidak kuliah.
Tidak kerja.
Tidak menikah.
Tidak punya teman.”

“Tapi saya sudah ketemu solusi,” ujarnya.
“Insha Allah, Ibu akan bangga.
Insha Allah,  bermanfaat buat Ibu dan keluarga.”

“Solusi apa, Nak,” tanya saya.
Saya mulai curiga.
Tapi Putri diam saja.
Erat sekali Ia memeluk saya.
Sambil menangis.
Cegugukan.”

“Saat itu, sungguh Ibu tak mengerti.”

“Ya, Allah, Ibu tak menduga.
Jika ini solusinya.
Ia berkorban.
Ia nekad sendirian ke Mabes Polri.
Karena meyakini,
Ini jalan sahid.”

“Ya Allah, anakku.
Kok begitu.
Mana Ibu tega jika itu solusinya.”

“Ampun, Nak.
Jangan berkorban seperti ini.”
Kembali Ibu menangis.
Dada terguncang-guncang.

-000-

Di kantor, 
Pak Polisi terdiam.
Hari sudah malam.
Larut.
Sepi.

Apa yang harus Ia simpulkan?

Putri ini terlalu lugu untuk disebut teroris.
Ia terkena ganguan jiwa pula.

Dari laptop, terus Pak Polisi pelajari.
Apa itu Lone Wolf Terorism?
Apa itu Individu, atau kelompok kecil yang bergerak sendiri.
Tak lagi berhubungan dengan organisasi besar terorisme.

Dilihatnya data itu.

Peristiwa seperti Putri.
Terjadi di banyak negara.
Dari Asia hingga Australia.
Dari Afrika hingga Amerika.
Dari Eropa hingga Timur Tengah.

Putri sudah mati.
Tapi siapa yang bisa bantah?
Di berbagai belahan Nusantara,
tengah tumbuh Putri- Putri yang lain.***

April 2021.

CATATAN

(1). Kisah ini sepenuhnya fiksi, walau diinspirasi oleh kisah sebenarnya dari Zakiah Aini

https://news.detik.com › berita7 Fakta Baru Zakiah Aini Serang Mabes Polri Pakai Air Gun

(2). Banyak Lone Wolf Terrorism ditandai oleh mental illness, antara lain gejala Schizoprenia

https://www.worldscientific.com › doiWeb resultsLone Wolf Violent Extremism and Mental ...

(3). Pengetahuan soal terorisme justru kini banyak didapatkan melalui Online.

https://elearning.osce.org › aboutPreventing and Countering the Use of the Internet for ...

(4) Paham agama Putri agak menyempal. Ia menghidupkan permusuhan tinggi kepada simbol pemerintahan yang dianggapnya zolim.

https://www.pikiran-rakyat.com › ...Web resultsSebut Pemerintah Thogut, Berikut Isi Lengkap Surat ...
Artikel.iniok.com


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.