Kapitayan : Agama Kuno Penghuni Nusantara

Kapitayan : Agama Kuno Penghuni Nusantara

Nusantara itu tidak mempunyai agama, karena hidup itu sendiri merupakan laku Gama. Gama adalah hukum semesta, jadi agama adalah a artinya menjalankan atau melakukan atau melaksanakan gama.

Itulah senabnya di dalam kamus bahasa Jawa Kuna (lebih kuna drp bhs Sanskerta) tidak mencantumkan entri hindu, buddha, dan yang lainnya.

Kata kapitayan itu berasal dari asal kata kapi dan taya an

Kapi itu awalan kata yg maknanya melakukan. Taya artinya suwung. Masyarakat Nusantara kuno percaya bahwa ada pencipta atau sumber keberadaan yang tak teridentifikasi tetapi ketertiban hukumnya itu cetha, jelas di alam ini sesuai dengan lingkungan hidupnya. Oleh karena itu, agama dalam pengertian seperti sekarang belum ada.

Bagi Jawa (bukan etnis), wujud kehadiran Tuhan Yang Mahasuwung itu adalah Hyang Si Wa. Ini bukan Syiwa Hindu. Dia adalah Hyang  Si kata sandang kemuliaan, dan Wa (nyata, terang, cerah, air kehidupan). Dalam keseharian, wa menjadi way atau wé yang artinya air atau sungai. Kehadiran Hyang Si Wa ini dicandikan yang dinamakan Prambhanan, para + bhan + an, yang artinya tempat mbhan (Hyang Menerangi, Hyang Memelihara dan Mengasuh). Ingat kata mbok mban.

Tuhan dalam konsep Taya (Suwung) dicandikan sebagai Bharabudur (bhara = besar, budur = perkasa).

Ketika Tuhan dikonsepsikan sebagai sosok yang nyata, terang, cerah, disebut Hyang Si Wa, dan dicandikan sebagai Prambhanan. Sebenarnya Borobudur dan Prambanan bukan candi Buddha dan Hindu, tetapi dialektika rwabhinneda sebagai manufestasi loro ning atunggal.

Source :  https://lintasanpikiranblog.wordpress.com/2017/08/29/kapitayan-agama-kuno-penghuni-nusantara/

=============

Pada waktu agama Islam masuk ke tanah Jawa, keadaan masyarakat boleh dikatakan masih memeluk agama Hindu dan Budha. Disamping itu mereka juga masih berpegang teguh pada adat-istiadat serta kepercayaan lama yang dipusakainya dari nenek moyang mereka. Sebagaimana diketahui, sebelum kedatangan agama Hindu dan Budha, masyarakat di Jawa percaya kepada Animisme.[1]

Namun, sebenarnya kepercayaan animisme yang diketahui sebagai kepercayaan yang dianut oleh penduduk Jawa sebelum kedatangan Hindu dan Budha itu, adalah agama kuno penduduk Nusantara, yang di pulau Jawa disebut Kapitayan[2]. Kapitayan adalah agama kuno yang tumbuh dan berkembang di Nusantara semenjak berkembangnya kebudayaan Kala Paleolithikum, Messolithikum, Neolithikum, Megalithikum, yang berlanjut pada kala perunggu dan besi. Paleolithikum adalah Zaman Batu Tua. Zaman prasejarah yang bermula kira-kira 50.000 hingga 100.000 tahun yang lalu. Periode zaman ini adalah antara tahun 50.000 SM – 10.000 SM.[3]

Dalam keyakinan penganut Kapitayan di Jawa, leluhur yang pertama kali dikenal sebagai penganjur Kapitayan adalah tokoh mitologi Danghyang Semar putra Sanghyang Wungkuhan keturunan Sanghyang Ismaya. Secara sederhana Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan utama yang disebut Sanghyang Taya,[4] yang bermakna Hampa, Kosong, Suwung, atau Awang-uwung. Taya bermakna Yang Absolut, yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan Pancaindra. Kata Awang-uwung bermakna ada tetapi tidak ada, tidak ada tetapi ada. Untuk itu, supaya bisa dikenal dan disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam nama dan sifat ilahiah yang disebut Tu atau To, yang bermakna ‘daya gaib’ bersifat adikodrati[5].

Tu atau To adalah tunggal dalam Zat. Satu pribadi. Tu lazim disebut dengan Sanghyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu kebaikan dan ketidakbaikan. Tu yang bersifat kebaikan disebut Tu-han yang sering disebut dengan nama Sanghyang Wenang. Sedang Tu yang bersifat ketidakbaikan disebut han-Tu yang sering disebut dengan nama Sang Manikmaya. Demikianlah Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal. Karena itu Sanghyang Tunggal pada dasarnya bersifat gaib, tidak dapat didekati dengan pancaindra maupun dengan akal pikiran. Sanghyang Tunggal hanya diketahui sifat-Nya saja.[6

Oleh karena Sanghyang Tunggal itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindra dan alam pikiran manusia. Demikianlah didalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Sanghyang Taya  yang mempribadi (yang disebut Tu atau To) itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki berkaitan dengan kata Tu atau To seperti : wa-tu (batu), tu-ngkub (bangunan suci), tu-lang, tu-nda (bangunan bertingkat, punden berundak), tu-nggul (panji-panji), to-peng, to-pong (mahkota), to-ya (air), dan sebagainya.[7] Dalam rangka melakukan puja bakti kepada Sanghyang Tunggal.

Penganut Kapitayan menyediakan sesaji berupa tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tu-mbu (keranjang persegi dari anyaman bambu untuk tempat bunga), tu-ak (arak), tu-kung (sejenis ayam), untuk dipersembahkan kepada Sanghyang Tunggal yang daya gaib-Nya tersembunyi pada segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti wa-tu (batu), tu-ngkub (bangunan suci), tu-lang, tu-nda (bangunan bertingkat, punden berundak), tu-nggul (panji-panji), to-peng, to-pong (mahkota), to-ya (air), dan sebagainya. Para penganut Kapitayan yang bermaksud melakukan tu-ju (tenung[8]) atau memiliki keperluan lain yang mendesak, akan memuja Sanghyang Tunggal dengan persembahan khusus yang disebut tu-mbal.

Berbeda dengan pemujaan yang dilakukan masyarakat awam dengan persembahan sesaji-sesaji di segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Para Rohaniawan Kapitayan beribadah kepada Sanghyang Taya secara langsung, di suatu tempat bernama sanggar, yaitu bangungan persegi empat beratap tumpang dengan tu-tuk(lubang ceruk) di dinding sebagai lambang kehampaan Sanghyang Taya.

Dalam bersembahyang menyembah Sanghyang Taya di sanggar itu, para Rohaniawan Kapitayan mengkuti aturan tertentu : mula-mula, sang Rohaniawan yang sembahyang melakukang tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap tu-tuk (lubang ceruk) dengan kedua tangan diangkat ke atas menghadirkan Sanghyang Taya bersemayam di dalam tu-tud (hati). Setelah merasa Sanghyang Taya bersemayam di dalam tu-tud (hati), kedua tangan diturunkan dan didekapkan di dada, tepat pada hati. Posisi ini disebut swa-dikap (memegang ke-aku-an diri pribadi). Proses tu-lajeg ini dilakukan dalam tempo relatif lama.

Setelah tu-lajeg selesai, sembahyang dilanjutkan dengan posisi tu-ngkul (membungkuk memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam tempo yang relatif lama. Lalu dilanjutkan lagi dengan posisi tu-lumpak (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki). Yang terakhir, dilakukan posisi to-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut ibunya). Selama melakukan tu-lajeg, tu-ngkul, tu-lumpuk, dan to-ndhem dalam waktu satu jam lebih itu, Rohaniawan Kapitayan dengan segenap perasaan berusaha menjaga keberlangsungan keberadaan Sanghyang Taya yang sudah disemayamkan di dalam tu-tud (hati).

Seorang hamba pemuja Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (tu-ah) dan yang bersifat negatif (tu-lah). Mereka yang sudah dikaruniai tuah dan tu-lah itulah yang dianggap berhak menjadi pemimpin masyarakat. Yang akan diberi gelar dengan sebutan : ra-tu atau dha-tu.[9]

catatan kaki :

[1] Solihin Salam, Sejarah Islam di Jawa. Jakarta: Jayamurni, 1964, hlm.23

[2] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo : Buku Pertama Yang Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah, Depok: Pustaka IIMaN,2012,hlm.12

[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Paleolitikum

[4] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo : Buku Pertama Yang Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah, Depok: Pustaka IIMaN,2012, hlm.13

[5] Menurut KBBI, adikodrati adalah kata sifat yang bermakna melebihi atau diluar kodrat alam; supernatural(tidak dapat diterangkan dengan akal sehat)

[6] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo : Buku Pertama Yang Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah, Depok: Pustaka IIMaN,2012, hlm.13

[7] Ibid,hlm.14

[8] Menurut KBBI tenung adalah 1. kepandaian dan sebagainya untuk mengetahui (meramalkan) sesuatu yang gaib (seperti meramalkan nasib, mencari orang hilang) 2. ilmu hitam untuk mencelakakan orang;

[9] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo : Buku Pertama Yang Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah, Depok: Pustaka IIMaN,2012, hlm.15




Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.